Kepada para Pastor, Biarawan-Biarawati dan segenap Umat beriman Katolik Keuskupan Agung Makassar, salam sejahtera dalam Kristus Yesus, Anak Allah “yang telah Ia tetapkan sebagai ahli waris segala sesuatu” (Ibr. 1:2). Di tahun 2024 ini Hari Rabu Abu jatuh pada tanggal 14 Februari, Adapun tema APP Nasional tahun ini, ialah “MENGEMBANGKAN EKONOMI EKOLOGIS”.
Untuk dapat lebih memahami masalah sangat serius menyangkut ekonomi dan ekologi (lingkungan hidup) dewasa ini, baiklah sebentar kita menoleh ke belakang:
Diawali dengan sebuah artikel oleh Prof. Lynn White di tahun 1967, selama beberapa waktu merebak ramai debat teologis, khususnya di Amerika Utara, sekitar masalah ekologi. Dalam tulisannya White menyesalkan konsekwensi-konsekwensi ekologis dari etika Kristen yang menekankan wewenang manusia atas alam. Penulis-penulis lain sejak itu mengikuti garis yang sama, walau kadangkala dengan penekanan yang berbeda. Mereka menjelaskan bahwa sikap antroposentris (manusia adalah pusat) dan agresif terhadap alam itu bersumber dari gagasan Kristen mengenai kedaulatan manusia atas segala ciptaan lain. Bahwa tradisi Yudeo- Kristen itu (Kej. 1:26-28) sayangnya telah menghasilkan sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi buta dan suatu budaya ekonomistik yang tidak sehat. Singkatnya, Kekristenan dituduh mewartakan hak kedaulatan mutlak manusia atas alam. Tuduhan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa, perilaku manusia terhadap alam lingkungannya ditentukan oleh paham dasar kelompok manusia yang bersangkutan tentang hubungannya dengan alam.
Tetapi sesungguhnya secara historis, proses eksploitasi berskala besar atas bumi kita baru mulai sejak abad ke-19, ketika kemajuan industri dan ilmu pengetahuan saling menunjang dalam melahirkan revolusi teknologis, yang secara harafiah merubah muka bumi. Sejak itu manusia semakin menampakkan superioritasnya atas alam. Alam diperlakukan seakan sebagai tambang yang dapat dikuras sebebas-bebasnya demi kepentingan manusia, khususnya di bidang kebutuhan materiil (ekonomi). Tidak heran berkembanglah sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi buta (tanpa etika), yang pada gilirannya menghasilkan suatu budaya ekonomistik-konsumeristik yang tidak sehat. Dan di era globalisasi dewasa ini kiranya tidak ada satu negeri atau bangsa pun yang masih kebal terhadap ancaman penularan budaya semacam ini. Di lain pihak, disadari bahwa apabila penghancuran lingkungan yang semakin parah ini berlangsung terus, maka pada akhirnya akan berakibat fatal, berupa hancurnya manusia itu sendiri. Inilah taruhannya yang sungguh mengerikan.
Maka sebagai orang Kristiani, dengan masygul kita bertanya, benarkah tuduhan tersebut di atas bahwa, masalah ekologi yang sangat serius dewasa ini bersumber dari tradisi yudeo-kristen yang dikatakan termaktub dalam Kej. 1:26-28? Dalam ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus telah dengan meyakinkan membantah tuduhan tersebut, yang didasarkan pada penafsiran keliru atas Kej. 1:26-28, karena dilepaskan dari konteks: “Dikatakan bahwa cerita kejadian yang mengundang manusia untuk ‘berkuasa’ atas bumi (lih. Kej. 1:28), telah mendorong eksploitasi alam tanpa kendali dengan menggambarkan manusia sebagai yang menguasai dan merusak. Ini bukan interpretasi yang benar tentang Alkitab seperti yang dipahami oleh Gereja … Saat ini kita harus tegas menolak gagasan bahwa penciptaan kita menurut gambar Allah dan misi untuk menaklukkan bumi, membenarkan dominasi mutlak atas makhluk lainnya. Teks Alkitab harus dibaca dalam konteksnya, dengan hermeneutika yang tepat, dan konteks itu mengundang kita untuk ‘mengusahakan dan memelihara’ taman dunia (lih. Kej. 2:15). Sementara ‘mengusahakan’ berarti menggarap, membajak, atau mengerjakan, ‘memelihara’ berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi. Artinya, ada relasi tanggung jawab timbal-balik antara manusia dan alam” (LS,67).
Selain itu, perlu dicatat pula bahwa dalam tradisi Katolik, etika menyangkut hubungan antara manusia dan alam terutama dibangun atas dasar misteri inkarnasi. Sabda Allah dalam Perjanjian Baru. Dalam misteri inkarnasi, Sabda Allah yang ada pada mulanya bersama dengan Allah dan adalah Allah (lih. Yoh. 1:1), telah menjadi manusia (secara harafiah: menjadi daging) dan tinggal di antara kita (lih. Yoh. 1:14). (Sabda) Allah mengambil unsur materi, ciptaan-Nya sendiri menjadi tubuh-Nya, dan dengan demikian mengangkat kodrat alami. Terkenallah diktum teologis Katolik, “Gratia non destruit, elevat autem naturam” (“Rahmat tidak menghancurkan melainkan mengangkat kodrat alami”). Jadi berdasarkan misteri inkarnasi, hubungan antara manusia dan alam kodrati dipahami secara lebih positif dan terdapat suatu sikap kerja sama antara keduanya.
Kiranya berdasarkan misteri inkarnasi itulah Santo Fransiskus dari Assisi dapat bermadah indah “Laudato Si’, mi’ Signore”, “Terpujilah Engkau, Tuhanku”, di mana ia mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama adalah seperti seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti seorang ibu rupawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka. ‘Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang memelihara dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan (lih. LS,1). Tidakkah di sini bergema pandangan asli Nusantara, yang menyapa bumi sebagai Ibu Pertiwi?
Kembalilah kita sekarang ke tema APP Nasional 2024, “Mengembangkan Ekonomi Ekologis”. Jelaslah, memperlakukan bumi bagai tambang yang dapat dikuras habis demi kepentingan ekonomi, berlawanan dengan ajaran Kitab Suci. Melalui misteri inkarnasi alam materiil telah ditebus, diangkat dan disucikan; dan karena itu, manusia sebagai “gambar Allah” tidak boleh sekehendaknya mengeksploitasi alam materiil, melainkan harus “mengusahakan dan memeliharanya” bagai sebuah taman. Upaya mengembangkan ekonomi ekologis mengundang seluruh masyarakat melawan proyek-proyek besar industri, pertambangan, pembangkit listrik tenaga air, pertanian, dst, yang tidak memperhatikan dan memelihara kelestarian lingkungan.
Dalam Ensiklik “Laudato Si’”, Paus Fransiskus merumuskan halnya secara ringkas sebagai berikut: “Setiap komunitas dapat mengambil dari harta-benda bumi apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup, tetapi juga memiliki kewajiban untuk melindungi bumi dan menjamin keberlangsungan kesuburannya untuk generasi-generasi mendatang; karena akhirnya, ‘Tuhanlah yang empunya bumi’ (Mzm. 24:1), Dialah yang empunya ‘bumi dengan segala isinya’ (Ul. 10:14). Karena itu, Allah menolak setiap klaim kepemilikan mutlak: ‘Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah pendatang dan warga asing yang menumpang pada-Ku’ (Im. 25:23)” (LS,67).
Ajaran Sosial Katolik (ASK) selalu memegang teguh kebenaran hakiki ini, bahwa bumi dan segala isinya adalah milik asli Sang Pencipta. Maka apa saja yang dimiliki oleh manusia, sejatinya adalah anugerah atau pemberian. Ketika dilahirkan ke dunia ini, setiap manusia tidak membawa apa-apa; kita dilahirkan ke dunia ini, maaf, dengan telanjang bulat. Boleh jadi ada anak manusia yang dengan bangga mengatakan apa yang dimilikinya adalah warisan dari orang tuanya. Tetapi bukankah orang tuanya juga ketika dilahirkan ke dunia ini tidak membawa apa-apa? Karena itu harus dikatakan bahwa, apapun saja tidak dapat dicengkeram sebagai milik mutlak; setiap milik pribadi mempunyai aspek sosial (lih. RN,22; QA,45). Bahkan manusia tidak pernah boleh lupa bahwa ia sendiri adalah pemberian; tidak ada manusia yang berasal dari dirinya sendiri. Manusia adalah makhluk otonom yang sekaligus sosial: sejak semula Allah menciptakan mereka laki-laki dan perempuan (lih. Kej. 1:27). Maka setiap manusia tidak boleh hidup hanya untuk dirinya sendiri saja!
Tetapi sistem persaingan pasar bebas dewasa ini, yang cenderung memproduksi barang-barang kebutuhan masyarakat hampir tanpa batas, dengan sendirinya berakibat mengeksploitasi kekayaan bumi, dan limbah pelbagai pabrik menimbulkan polusi tanah, air dan udara. Konglomerat-konglomerat terus-menerus berupaya membuat masyarakat bergantung pada produk-produk mereka. Mereka ahli dalam merekayasa secara psikologis selera umum masyarakat, sehingga masyarakat akan merasa ketinggalan zaman bila tidak menggunakan produk-produk mereka yang selalu baru. Mereka tidak pernah akan membiarkan masyarakat menjadi mandiri dalam kebutuhan ekonomis mereka. Menghadapi siasat licik ini, sesungguhnya Gereja telah berupaya menumbuhkan budaya ekonomi alternatif, misalnya lewat CU-CU dan koperasi-koperasi lainnya. Diharapkan semakin banyak umat yang menjadi anggota aktif dari CU-CU dan koperasi-koperasi ini.
Semoga di tempat masing-masing komunitas-komunitas umat semakin kreatif dalam upaya mengembangkan ekonomi ekologis. Selamat menjalani Masa Prapaskah!
Tuhan memberkati!
Makassar, 25 Januari 2024
+John Liku-Ada’
PERATURAN PUASA DAN PANTANG:
NB.: Berhubung 14 Februari 2024 bertepatan dengan Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Legislatif, maka upacara penerimaan Abu dalam perayaan Ekaristi diberi dua kemungkinan: